Setumpah Harapan Andi

Senin, 02 Januari 2012
0 komentar

Aku memiliki bentuk fisik
Aku memiliki nama
Aku memiliki berbagai fasilitas
Aku memiliki fitur-fitur yang menarik
Aku memiliki berbagai macam benda
Aku memiliki dokumen-dokumen yang berharga
Aku memiliki segala keperluan yang dibutuhkan
Tapi,
Aku terlupakan.
Aku terdiri atas berbagai bentuk dan rupa
Aku terdiri atas berbagai warna dan cahaya
Aku terdiri atas segala yang lembut dan keras
Aku terdiri atas manusia-manusia yang berjuang demi kebutuhannya
Aku terdiri atas segala tulisan
Tapi,
Aku dibenci oleh beberapa orang.
Padaku terdapat banyak hal,
suka-duka
tawa canda
kegembiraan
pengkhianatan
persahabatan
percintaan
permusuhan
pertentangan
perselingkuhan (kadangkala)
pertautan
pertobatan
pengakuan
Tapi,
Aku tidak merasakan apapun selain merasa tak terpandang.
Padaku terdapat segalanya,
ilmu pengetahuan
kesehatan
kesalahan
keserakahan
kepintaran
teknologi
perkembangan dunia
Tapi,
Aku tidak memahami apa pentingnya semua itu bagiku.
Aku memiliki nama,
yang sering dipergunakan oleh anak kecil,
juga nama yang sama yang dipergunakan oleh saudara-saudaraku yang lain
yang meski bentuk kami berbeda
namun tetaplah sama.
Siapakah aku?
Aku,
segala yang menjadi pusat edukasi,
sekolah,laboratorium,perpustakaan,perguruan tinggi,seminari,
dan lainnya.
Tapi aku lebih senang,
jika kau dapat menyebutku...
Tempat belajar bersama.

Baca selengkapnya »

Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Bahas Pemindahan Ibukota Ke Palangka Raya

0 komentar
WACANA pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke Palangka Raya, Kalimantan Tengah (Kalteng) terus menggelinding.
DPD Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kalteng secara khusus mengupas masalah ini dalam sebuah diskusi publik yang digelar bareng acara Musyawarah Provinsi XII Pemuda/KNPI Kalteng, kemarin.
Ketua Umum KNPI Aziz Syamsudin yang menjadi narasumber dalam diskusi itu menga-ku, mendukung wacana itu. “Pada prinsipnya, kita mendukung. Gagasan (pemindahan ibukota) itu bagus,” ujar Aziz.
Hadir pula dalam diskusi Kepala Bappeda Kalteng Syahrin Daulay. Walikota Palangka Raya HM Riban Satia. Sekretaris Tim Persiapan Pemindahan Ibukota dari Pemko Palangka Raya Prof Dr Danes Jaya Negara, ahli tata kota yang juga Dosen Fakultas Teknik Universitas Palangka Raya, Wi-janarka ST.
Melanjutkan keterangannya. Aziz tidak yakin keputusan itu bisa direalisasikan pada masa pemerintah SBY-Boediono. Meski demikian, untuk mewujudkan wacana pemindahan itu, politisi Golkar ini mengatakan, perlu dilakukan persiapan serius.
Misalnya, sumber daya manusia, fasilitas penunjang seperti infrastruktur dan transportasi. Kemudian perlu rencana planologi secara detil.
“Kalteng harus mempersiapkan diri menyambut wacana ini. Mulai sekarang harus ada langkah-langkah persiapan, baik dari pemerintah daerah (pemda) maupun komponen lain termasuk pemuda,” paparnya.

Selain itu, langkah yang bisa diambil pemuda adalah secara berkala Pemprov Kalteng menarik dan menyelenggarakan even-even berskala nasional untuk bisa dilaksanakan di Palangka Raya. Melalui even seperti ini, mem-buat Kalteng akan dilirik dan dikenal secara nasional.
“Tanpa ada pemindahan even-even nasional ke Palangka Raya, saya rasa sulit untuk memindahkan ibukota ke sini,” ujarnya.
Khusus untuk para pemuda Kalteng. Aziz menyarankan untuk berani maju pada kongres nasional KNPI yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat. Hal ini akan membuat pemuda Kalteng dilihat secara nasional .
Baca selengkapnya »

Belajar (Kembali) Spirit Sumpah Pemuda 1928

0 komentar

Kami Putra-Putri Indonesia,
                 Bertanah Air Satu
                         Tanah Air Indonesia
                                    Berbangsa Satu
                                              Bangsa Indonesia
                                                         Berbahasa Satu
                                                                     Bahasa Indonesia
           (Trilogi Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928)
             Kembali, bangsa Indonesia memperingati hari Sumpah Pemuda. Tepatnya yang ke 79 tahun. Peristiwa sejarah, momen krusial yang dipenuhi spirit persatuan dalam menapaki cita-cita merdeka secara defenitif layak untuk terus dihayati dan diapresiasi para generasi penerus—baca; pemuda masa sekarang.
Memang sudah selayaknya kita belajar tentang kesungguhan perjuangan untuk rakyat. Pemuda eksponen 1928 telah menegaskan bahwa kepentingan untuk merdeka bagi semua rakyat atas penjajah adalah prioritas utama. Heterogenitas ternisbikan oleh spirit bersatu. Para pemuda yang dilingkupi dengan situasi keterbatasan dan ketertindasan mampu merancang skenario masa depan bangsanya dengan amat cerdas. Jelasnya keberanian untuk mengikrarkan kesatuan ini dilatarbelakangi spirit hidup berbangsa untuk pencapaian kemerdekaan Indonesia secara definitif terletak pada kemampuan menanggalkan egoisme kelompok dan pribadi. Seluruh elemen mengagendakan visi  politis strategis, mematahkan ke-terkotak-kan bangsa akibat politik etis kolonial. Bahu membahu membangun simbiosis mutualisme demi terciptanya kemerdekaan dan kesejahteraan hidup berbangsa.
Bagaimana dengan sekarang? Rasanya tidaklah tabu jika penulis memunculkan wacana untuk memaknai kembali ruh suci sumpah pemuda sebagai wahana kontemplasi sebelum bergerak maju menuntaskan agenda gerakan selanjutnya
            Dalam kontek kebangsaan, menurut penulis gerakan pemuda sekarang terperangkap pada jebakan realitas dan pragmatisme. Ormas pergerakan tak lebih menjadi alat untuk mepet pada pusat kekuasaan. Buktinya, isu kenaikan BBM tak secara maksimal diperjuangkan oleh gerakan pemuda. Isu KKN yang super canggih mengakar tak mampu dihadapi oleh idealisme gerakan. Gerakan menjadi mandul dan miskin terobosan brilian. Para pemuda tidak mampu membuat orientasi isu, skenario gerakan yang membumi terhadap segala bentuk penyelewengan penyelanggaraan negara. Mungkinkah benar apa yang pernah disampaikan oleh Bung Rusman Ghazali bahwa para pemuda sesungguhnya telah gagal menyelamatkan Sumpah Suci 28 Oktober 1928”?
            Jika memang demikian perlulah kiranya punggawa gerakan masa kini belajar dan memaknai kembali Spirit Sumpah Pemuda 1928. Caranya Pertama, menentukan common enemy dalam aktivitas gerakan. Untuk kontek sekarang isu KKN masih layak dijadikan target musuh bersama. Lihatlah para angkatan 28, mereka berhasil berkonsolidasi dengan satu kata yakni persatuan yang terangkum dalam trilogi. Selektifitas mereka yang cermat dalam menentukan isu dan sistematika gerakan terbukti dalam sejarah. Gerakan pemuda masa kini layak mempertimbangkan langkah yang sama. Berkonsolidasi menghadapi sistem yang korup dalam sistem penyelenggaran negara. Daya hancur KKN yang dasyat terhadap sendi berbangsa dan bernegara menjadi pembenar untuk melakukan ’pemberangusan’ aktivitas KKN. Namun, gelombang dan ritme gerakan harus diatur sedemikian rupa agar stamina tetap prima dan merata disegenap pemuda nusantara.
Menurut penulis, perlu sebuah ’silaturahmi akbar’ yang intens bagi segenap elemen gerakan pemuda. Komunikasi dan penyatuan persepsi yang  dibingkai oleh permusuhan abadi terhadap KKN. Dan situasi yang kondusif serta didukung perangkat teknologi komunikasi yang lengkap semakin memudahkan proses pembumian isu gerakan. Sekaligus menentukan tokoh gerakan yang mampu mempersatukan segenap elemen gerakan. Dan tokoh yang dimunculkan haruslah di back up dengan tink tank yang solid. Mengapa perlu dimunculkan tokoh baru, rasanya sosok-sosok tokoh sekarang telah uzur untuk menanggung beban idealisme gerakan pemuda. Dan jika menilik sejarah, pemuda-pemuda yang bersumpah tahun 1928 juga memunculkan tokoh-tokoh ke ruang publik. Sekali lagi langkah strategi pemuda tahun 28 layak dipertimbangkan.
Kedua, membangun sikap loyal dan totalitas terhadap platform gerakan. Ini sangat penting karena kawah candradimuka telah terkontaminasi dengan virus KKN yang amat resisten disamping itu posisi pemuda yang saat ini kian tereksploitasi oleh kepentingan penyelenggaraan yang menyeleweng dari harapan rakyat. Soekarno, Hatta, H. Agus Salim, Soenario dan masih banyak lagi memberikan contoh bagaimana loyalitas dan totalitas mereka terhadap perjuangan yang tegak pada pondasi kebenaran dan keadilan.
Terakhir, jelang pemilu 2009 biasanya pemuda akan laris bak kacang goreng. Institusi parpol atau kelompok biasanya merekrut pemuda-pemuda potensial untuk memperkuat jajarannya dalam menghadapi pesta demokrasi. Baik itu sebagai pemikir atau hanya sebagai bemper pembenar kepentingan politik sesaat. Ini menjadi ujian bagi gerakan pemuda yang berhasil belajar kambali dan meresapi makna spirit Sumpah Pemuda yang ke 79 tahun ini. Sebuah sunnatullah, himpitan arus idealisme pasti akan dibenturkan dengan pragmatisme. Wallahu ’alam
Oleh: Agus Hermawan
Baca selengkapnya »

Pemuda dan Agenda Reformasi Bangsa

0 komentar
Istilah pemuda atau generasi muda umumnya dipakai sebagai konsep untuk memberi generalisasi golongan masyarakat yang berada pada usia paling dinamis, yang membedakan dari kelompok umur anak-anak dan golongan tua. Menurut budayawan Taufik Abdullah, pemuda bukan cuma fenomena demografis, akan tetapi juga sebuah gejala historis, ideologis, dan juga kultural. (Pemuda dan Perubahan Sosial, LP3ES, 1987).
Dalam setiap episode transisi politik, peran pemuda-terutama para pemuda “elite” selalu terlibat di dalamnya. Mereka adalah generasi terpelajar – mahasiswa, profesional, akademisi, dan para aktivis pada umumnya – yang berasal dari kalangan menengah, tinggal di kota besar, memiliki kepekaan sosial dan empati politik yang tinggi.
Dalam konteks sejarah Indonesia, secara periodikal peran mereka dapat dibagi dalam angkatan 08, 28, 45, 66, 74, 80-an, hingga 90-an. Secara ideologis, mereka adalah golongan yang kritis adaptif serta sanggup melahirkan ide-ide baru yang dibutuhkan masyarakatnya. Sementara secara kultural, mereka adalah produk sistem nilai yang mengalami proses pembentukan kesadaran dan pematangan identitas dirinya sebagai aktor penting perubahan.
Sebagai golongan elite masyarakat, dalam banyak kasus, peran kaum muda amat menentukan arah kehidupan bangsanya. Seperti diulas Pareto, Mosca, atau Michel (1982), mereka adalah kaum elite yang memiliki mobilitas tinggi dan peran sentral dalam menentukan opini dan keputusan mayoritas. Pada gilirannya, kaum elite itulah yang mengontrol berbagai akses atas sumber daya ekonomi dan politik negara.
Jika pemuda angkatan 08 berhasil memupuk bibit nasionalisme, pemuda angkatan 28 sukses menggalang ideologi persatuan nasional. Sedangkan pemuda angkatan 45 sanggup mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Untuk angkatan 66, 74, 80, hingga 98-an bisa dikatakan hanya mampu memerankan dirinya sebatas kekuatan korektif.
Pasca kekuasaan Orde Lama, politik nasional praktis berada di bawah kendali elite militer, khususnya angkatan darat. Pemuda 66 yang masuk dalam arena kekuasaan perannya tak lebih sebatas “penyuplai ide”, sementara mereka yang memilih berada di luar lingkar kekuasaan berfungsi tak lebih sebagai “pengritik” negara.
Pasca tumbangnya Orde Baru, selain melengserkan Soeharto dan membuka katup demokrasi, nyaris tak ada pembaruan mendasar yang bisa dilakukan pemuda dan gerakan mahasiswa. Mengutip hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (2007), salah satu kendala utama dalam menuntaskan agenda reformasi adalah sulitnya mencari sosok muda tampil mengimbangi peran elite mapan produkkepemimpinan politik Orde Baru.
Terhambatnya regenerasi kepemimpinan politik pemuda yang bisa berdiri sejajar dengan sosok mapan seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati Soekarnoputri atau Jusuf Kalla diperkirakan masih akan terus berlangsung hingga pemilu 2009. Elite Indonesia pascareformasi, sepertinya tengah mengalami pergeseran entitas, dari elite berbasis militer-politisi-birokrat ke elite berlatar aktivis-intelektual-entrepreneur.
Faktanya, jumlah mahasiswa dan geliat gerakan mahasiswa mengalami booming pada dekade 70-an, yang perannya tumbuh dan mengait kuat dengan dunia politik. Hal itu berpengaruh signifikan pada tampilnya kembali sosok politik pemuda. Pascakampus, para mantan aktivis mahasiswa aktif dalam organisasi kepemudaan, partai politik, LSM, perguruan tinggi, pers, dan dunia bisnis.
Kejatuhan rezim Soeharto menjadi momentum bagi para mantan aktivis mahasiswa untuk memasuki dunia politik praktis. Banyak di antara mereka, terutama mantan aktivis berlatar profesional-entrepreneur untuk duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif, di level nasional maupun daerah. Namun, tak sedikit dari mereka yang memasuki arena kekuasaan harus mengalami disorientasi visi dan terjebak dalam arus pragmatisme politik.
Penyebabnya adalah, tren politik nasional diwarnai secara kental oleh kegiatan ekonomi pasar. Pasar telah menjadi arena political game baru, yang mempenetrasi wilayah politik dan perilaku para aktornya. Tren politik berbasis pasar (industri politik) juga tumbuh seiring dengan sikap elite politikyang kian arogan, parokial, dan partitokrat (perilaku partai yang suka “merampas” kedaulatan rakyat).
Dalam buku The Rise of Capital (1986), Richard Robinson menjelaskan bagaimana pengusaha mengendalikan negara melalui arena politik. Realitas politik itu sesungguhnya adalah wajah lain dari watak kekuasaan Orde Baru yang nepotik, kolutif, dan koruptif.
Ketika sikap pragmatisme para politico-business itu bersinerji dengan iklim politik pasar, maka bisa dipastikan dunia politik akan menjadi lawan dari demokrasi. Persoalannya kemudian, bagaimana menjamin proses transisi politik dari generasi tua ke generasi muda tidak kembali terjebak pada model regenerasi elitis, pragmatis, subjektif, dan fragmentatif?
Pertama, kaum muda harus berani merombak watak budaya politik “banalisme” yang menjadikan kekuasaan dan uang sebagai tujuan. Kedua, memperkuat komitmen penegakan hukum dan memfungsikan partai politik dan badan legislatif sebagai arena perjuangan kepentingan rakyat. Ketiga, mendorong birokrasi yang bersih, profesional, dan berorientasi pada pelayanan (good corporate governance). Keempat, mengefektifkan struktur kekuasaan yang mampu menjamin bekerjanya fungsi check and balance di antaralembaga-lembaga negara. Kelima, menumbuhkan etika dan etos berbisnis yang sehat, agar para entrepreneur yang menjadi pejabat publik tidak menjadikan kekuasaan sebagai alat baru bagi proses “akumulasi kapital”.
Ke depan, kiprah pemuda berlatar aktivis-intelektual-entrepreneur akan makin banyak masuk dalam kekuasaan. Kekhawatiran atas kiprah mereka amat wajar, mengingat iklim perselingkuhan “uang dan kekuasaan” yang dilakoni jenis elite “penguasa-pengusaha” itu kini tengah mendominasi wacana dan praktik politik mutakhir di Indonesia.
Pemuda sejatinya bisa menjawab tantangan dan kebutuhan zamannya, yaitu menuntaskan agenda reformasi yang terus tertunda. Seperti kata Max Weber, pemuda tak boleh menjadi ekor sejarah, yang gagal menunaikan peran historisnya.
Oleh : Gatot Yan. S
Baca selengkapnya »

Bangkitlah Pemuda

0 komentar
Hari ini, tanggal 28 Oktober kita kembali memperingati Hari Sumpah Pemuda. Tepat 80 tahun silam, beberapa pemuda dari berbagai golongan mencetuskan sumpah yang hingga kini, hampir kita semua menghapalinya. Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, itulah inti sumpah yang dianggap sebagai batu pancang persatuan bangsa yang kemudian mengantarkan Indonesia merdeka 17 tahun sesudahnya, yakni pada tahun 1945. Pemuda memang harapan bangsa. Apalagi, jika ditilik lebih jauh ke belakang, Kebangkitan Nasional pun sebenarnya juga dipelopori oleh generasi muda, yang kala itu tergabung melalui organisasi Boedi Oetomo.
Kini, 100 tahun pasca Kebangkitan Nasional dan 80 tahun Sumpah Pemuda, patut dipertanyakan apa peran para pemuda kali ini? Reformasi tahun 1998 bisa dikatakan sebagai salah satu simbolisasi gerakan pemuda demi kebangkitan bangsa. Sayangnya, tak banyak perubahan yang terjadi pascakrisis moneter yang melanda beberapa bangsa di dunia. Saat negara lain-termasuk negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand-telah kembali pulih, bangsa ini sepertinya tak kunjung menemui jalan terang. Kalaupun ada sejumlah hal yang mengalami peningkatan, seperti pemberantasan korupsi atau menurunnya angka kemiskinan, hal itu belumlah terlalu signifikan dampaknya bagi kebangkitan bangsa. Lantas, apa sebenarnya yang membuat bangsa kita seolah tak segera mampu bangkit seperti bangsa lainnya? Barangkali, satu survei yang baru-baru ini dilakukan oleh harian Media Indonesia bisa menjawab pertanyaan tersebut. Dari sekitar 480 responden pemuda yang tersebar di enam kota besar, Jakarta, Medan, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Makasar, menyebut bahwa orang Indonesia cenderung malas bekerja. Jumlah yang meyakini orang Indonesia sebagai golongan pemalas mencapai 58,3 persen. Sedangkan yang menyebut orang Indonesia rajin hanya 33,8 persen, dan sisanya mengaku tidak tahu. Jika benar hitungan ini, sungguh merupakan hal yang sangat merugikan kita sebagai bangsa yang besar, subur, dan kaya raya ini. Sikap malas merupakan salah satu bentuk kemiskinan mental yang akan membuat kita terpuruk dalam jurang ketakberdayaan. Sebaliknya, sikap rajin akan mempercepat langkah untuk segera bangkit dari keterpurukan. Dan ini dibuktikan oleh beberapa negara yang sudah bangkit dari krisis seperti Korea Selatan. Di negeri ginseng itu budaya kerjanya sudah sangat cepat, teratur, disiplin, dan jauh dari kesan pemalas. Memang, meski hasil survei tersebut tak bisa dikatakan mewakili hal sesungguhnya, tapi setidaknya angka-angka itu menjadi cerminan diri kita sebagai bangsa. Dan, seharusnya pula hal itu bisa kita jadikan sarana evaluasi bersama. Sudahkah kita, sebagai pribadi, punya sikap kaya mental? Sudahkah kita sebagai pemuda harapan bangsa, tak lagi memiliki sikap suka menunda-nunda? Sebab, hanya dengan memulai dari diri sendirilah kita akan mampu bangkit. Karena itulah, menyambut peringatan Sumpah Pemuda ke-80 ini, mari kita kembangkan sikap kaya mental pada diri masing-masing. Gali dan terus kembangkan potensi demi kemajuan diri dan bangsa Indonesia.
Bosan kita menderita! Saatnya bersama, bersatu bangun Indonesia!!!
oleh : Andrie Wongso
Baca selengkapnya »
 

Label

Mengenai Saya

Andi Wirahadi Kusuma lahir di Jakarta, 11 Maret 1983. Saat ini Andi masih kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Palangka Raya, Andi tinggal bersama kedua orang tua dan adik – adiknya di jalan Meranti No.32 Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah

© 2010 Andi Wirahadi Kusuma Design by Dzignine
In Collaboration with Edde SandsPingLebanese Girls